Hukum isbal
لا ينظر الله يوم القيامة إلى من جر إزاره بطراً
“Pada hari
Kiamat nanti Allah tidak akan memandang orang yang menyeret kainnya karena
sombong” (HR. Bukhari 5788)
Kedua, hadits-hadits yang mengharamkan isbal
secara mutlak baik karena sombong ataupun tidak.
Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda:
ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار
“Kain yang
panjangnya di bawah mata kaki tempatnya adalah neraka” (HR. Bukhari
5787)
ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة ولا ينظر إليهم ولا يزكيهم ولهم عذاب أليم المسبل والمنان والمنفق سلعته بالحلف الكاذب
“Ada tiga
jenis manusia yang tidak akan diajak biacar oleh Allah pada hari Kiamat, tidak
dipandang, dan tidak akan disucikan oleh Allah. Untuk mereka bertiga siksaan
yang pedih. Itulah laki-laki yang isbal, orang yang mengungkit-ungkit sedekah
dan orang yang melariskan barang dagangannya dengan sumpah palsu”.
(HR. Muslim, 106)
لا تسبن أحدا ، ولا تحقرن من المعروف شيئا ، ولو أن تكلم أخاك وأنت منبسط إليه وجهك ، إن ذلك من المعروف ، وارفع إزارك إلى نصف الساق ، فإن أبيت فإلى الكعبين ، وإياك وإسبال الإزار ؛ فإنه من المخيلة ، وإن الله لا يحب المخيلة
“Janganlah
kalian mencela orang lain. Janganlah kalian meremehkan kebaikan sedikitpun,
walaupun itu hanya dengan bermuka ceria saat bicara dengan saudaramu. Itu saja
sudah termasuk kebaikan. Dan naikan kain sarungmu sampai pertengahan betis.
Kalau engkau enggan, maka sampai mata kaki. Jauhilah isbal dalam memakai kain
sarung. Karena isbal itu adalah kesombongan. Dan Allah tidak menyukai
kesombongan” (HR. Abu Daud 4084, dishahihkan Al Albani dalam Shahih
Sunan Abi Daud)
مَرَرْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي إِزَارِي اسْتِرْخَاءٌ فَقَالَ: يَا عَبْدَ اللَّهِ ارْفَعْ إِزَارَكَ! فَرَفَعْتُهُ. ثُمَّ قَالَ: زِدْ! فَزِدْتُ. فَمَا زِلْتُ أَتَحَرَّاهَا بَعْدُ. فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ: إِلَى أَيْنَ؟ فَقَالَ: أَنْصَافِ السَّاقَيْنِ
“Aku (Ibnu
Umar) pernah melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sementara kain
sarungku terjurai (sampai ke tanah). Beliau pun bersabda, “Hai Abdullah,
naikkan sarungmu!”. Aku pun langsung menaikkan kain sarungku. Setelah itu
Rasulullah bersabda, “Naikkan lagi!” Aku naikkan lagi. Sejak itu aku selalu
menjaga agar kainku setinggi itu.” Ada beberapa orang yang bertanya, “Sampai di
mana batasnya?” Ibnu Umar menjawab, “Sampai pertengahan kedua betis.”
(HR. Muslim no. 2086)
Dari Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu’anhu beliau berkata:
رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم أخذ بحجزة سفيان بن أبي سهل فقال يا سفيان لا تسبل إزارك فإن الله لا يحب المسبلين
“Aku
melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mendatangu kamar Sufyan bin Abi
Sahl, lalu beliau berkata: ‘Wahai Sufyan, janganlah engkau isbal. Karena Allah
tidak mencintai orang-orang yang musbil’” (HR. Ibnu Maajah no.2892,
dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Maajah)
Dari dalil-dalil di atas, para ulama sepakat haramnya isbal
karena sombong dan berbeda pendapat mengenai hukum isbal jika tanpa sombong.
Syaikh Alwi bin Abdil Qadir As Segaf berkata:
“Para ulama bersepakat tentang haramnya isbal karena sombong,
namun mereka berbeda pendapat jika isbal dilakukan tanpa sombong dalam 2
pendapat:
Pertama, hukumnya boleh disertai ketidak-sukaan
(baca: makruh), ini adalah pendapat kebanyakan ulama pengikut madzhab yang
empat.
Kedua, hukumnya haram secara mutlak. Ini
adalah satu pendapat Imam Ahmad, yang berbeda dengan pendapat lain yang masyhur
dari beliau. Ibnu Muflih berkata : ‘Imam Ahmad Radhiallahu’anhu
Ta’ala berkata, yang
panjangnya di bawah mata kaki tempatnya adalah neraka, tidak boleh menjulurkan
sedikitpun bagian dari pakaian melebihi itu. Perkataan ini zhahirnya adalah
pengharaman’ (Al Adab Asy Syari’ah,
3/492). Ini juga pendapat yang dipilih Al Qadhi ‘Iyadh, Ibnul ‘Arabi ulama
madzhab Maliki, dan dari madzhab Syafi’i ada Adz Dzahabi dan Ibnu Hajar Al
Asqalani cenderung menyetujui pendapat beliau. Juga merupakan salah satu
pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, pendapat madzhab Zhahiriyyah, Ash
Shan’ani, serta para ulama di masa ini yaitu Syaikh Ibnu Baaz, Al Albani, Ibnu
‘Utsaimin. Pendapat kedua inilah yang sejalan dengan berbagai dalil yang
ada.
Dan kewajiban kita bila ulama berselisih yaitu mengembalikan
perkaranya kepada Qur’an dan Sunnah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”
(QS. An Nisa: 59)
Post a Comment